Ada aroma yang tak bisa ditolak ketika pagi masih muda dan udara masih menggantungkan sisa embun: wangi bawang putih yang ditumis, suara ulekan yang berpadu dengan tawa penjual, dan sesendok bumbu kacang yang tumpah di atas potongan tahu hangat. Ya — kupat tahu. Hidangan sederhana yang entah bagaimana selalu berhasil menyalakan rasa bahagia dalam setiap suapan.

Sebagai pecinta kuliner tradisional, saya selalu punya tempat istimewa untuk kupat tahu. Mungkin karena di balik kesederhanaannya, ada cerita panjang tentang pertemuan budaya, rasa, dan cara hidup orang Jawa Barat yang santai tapi sarat makna.

Jejak Sejarah di Balik Kuah Kacang
Kupat tahu dipercaya lahir dari persilangan dua budaya kuliner: ketupat khas masyarakat pesisir Jawa dengan tahu yang dibawa para pedagang Tionghoa ke tanah Priangan. Keduanya bertemu dalam satu piring, berpadu dalam kesederhanaan, lalu menjadi ikon kuliner di kota-kota seperti Bandung, Tasikmalaya, Singaparna, Magelang, hingga tentunya Subang, kota tempat tinggal saya.

Setiap daerah punya versi sendiri. Ada yang kuahnya manis legit dengan kecap kental seperti di Magelang, ada pula yang cenderung gurih pedas seperti di Tasik atau Garut. Tapi satu benang merahnya sama: kupat tahu adalah makanan rakyat yang merayakan keseimbangan. Ada lembutnya tahu, kenyalnya ketupat, gurihnya bumbu kacang, dan segarnya tauge — semua menyatu dalam harmoni rasa.

Sederhana Tapi Tak Sembarangan
Bahan dasarnya mungkin tampak biasa: potongan ketupat, tahu goreng hangat, tauge, dan sambal kacang. Tapi percayalah, racikannya menentukan segalanya. Bumbu kacangnya dibuat dari kacang tanah yang digoreng kering, diulek bersama bawang putih, cabai rawit, gula merah, dan sedikit garam, lalu disiram dengan air hangat hingga teksturnya lembut tapi tidak terlalu cair.

Rahasia lainnya ada pada tahunya. Tahu yang digunakan harus segar, biasanya tahu Sumedang atau tahu Bandung yang baru digoreng — luarnya renyah, dalamnya lembut. Tauge cukup diseduh sebentar agar tetap segar, dan kupat (atau lontong) harus padat tapi tidak keras. Di atasnya ditaburi bawang goreng dan sejumput seledri, lalu diguyur bumbu kacang yang hangat. Sederhana, tapi menggoda.

Tips Menemukan Kupat Tahu yang Enak ala Kang JJS
1. Cari yang baru digoreng. Aroma tahu hangat yang baru keluar dari minyak akan langsung membangkitkan selera. Kalau tahunya sudah dingin, rasa gurihnya hilang separuh.
2. Perhatikan bumbu kacang. Bumbu yang baik itu wangi bawang putihnya terasa, tapi tidak menusuk. Kalau terlalu manis atau terlalu cair, rasanya kehilangan keseimbangan.
3. Lihat taugenya. Tauge yang segar warnanya putih cerah dan masih renyah. Kalau sudah layu, biasanya kupat tahunya tidak diracik dengan cinta.
4. Kecap adalah kunci. Di beberapa daerah, seperti Bandung, kecap manisnya menjadi penentu karakter rasa. Kecap yang kental dan legit akan membuat bumbu terasa lebih hidup.
5. Suasana juga penting. Kadang, kupat tahu yang dimakan di pinggir jalan dengan angin berhembus pelan dan gelas teh hangat di tangan terasa jauh lebih nikmat daripada yang disajikan di restoran berpendingin udara.

Kupat tahu mengajarkan satu hal sederhana: bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari hal besar. Kadang, cukup dari sepiring kupat tahu, sepiring keseimbangan yang dibuat dengan hati. Di tengah dunia yang serba cepat, hidangan ini mengingatkan kita untuk pelan-pelan — menikmati rasa, menghargai proses, dan mensyukuri setiap gigitan kecil kehidupan.

Karena sejatinya, hidup yang nikmat itu seperti kupat tahu: sederhana, apa adanya, tapi penuh makna.