Ketika masa lalu kita sudah ternoda oleh pekatnya dosa, apakah masih ada jalan untuk memperbaikinya?
Pertanyaan itu berputar di benak saya saat mengikuti kajian Baiti Jannati asuhan Ustadz Mohammad Nurul Anwar. Seperti biasa, suasana kajian Ahad petang itu hangat dan menenangkan. Di tengah rutinitas yang sering menggerus semangat iman, majelis ilmu seperti inilah yang menjadi tempat mengisi ulang energi kebaikan. Walaupun secara virtual, pertemuan rutin pekanan ini menjadi agenda tetap keluarga.
Saya dan istri menjadikan kajian ini sebagai bagian dari ikhtiar pembinaan diri dan keluarga. Kami menyadari, iman itu seperti gelombang—naik dan turun. Saat sedang naik, kita mudah tersenyum dan ringan beribadah. Namun ketika turun, hati terasa berat dan langkah menuju masjid pun melambat. Karena itu, jangan biarkan fase “turun” itu berlarut-larut. Berkumpul dengan orang-orang baik menjadi cara paling efektif untuk men-charge kembali semangat menuju Allah.
Selain di Baiti Jannati, saya juga mengikuti Kajian Lelaki Mengaji bersama beliau, sebuah pembinaan intensif yang menajamkan peran sebagai kepala keluarga. Tapi sore itu, ada pesan yang terasa menembus dinding hati—tentang bagaimana membangun rumah tangga Islami yang berangkat dari diri dan pasangan yang baik.
Ustadz Anwar menjelaskan, setan bekerja 24 jam tanpa lelah, mencari celah dalam rumah tangga lewat prasangka dan tuntutan. Kadang bukan masalah besar yang membuat hubungan retak, melainkan bisikan kecil yang dibiarkan tumbuh menjadi api. Maka, kata beliau, “vaksinnya” adalah dua hal sederhana tapi sering kita lalaikan.
Pertama, luangkan waktu untuk Al-Qur’an—bukan menunggu waktu luang.
Seperti tubuh yang perlu makanan, hati pun butuh asupan kalam Allah setiap hari. Tidak harus lama, tapi konsisten. Sehari 1 – 2 Juz bukan hal yang mustahil, hanya kadang kita menganggap tidak mampu dengan berbagai alibi kesibukan. Jadikan Al-Qur’an sebagai “teman harian,” bukan hanya tamu saat Ramadhan.
Kedua, perbaiki ibadah, terutama shalat.
Shalat bukan sekadar gerakan dan bacaan, melainkan koneksi langsung dengan Allah. Ustadz mengingatkan pentingnya memahami arti setiap lafaz yang kita ucapkan. Ketika kita tahu apa yang diminta dalam doa, sujud pun terasa lebih dalam, bukan rutinitas kosong. Itulah daily connection sejati antara hamba dan Rabb-nya.
Namun bagian yang paling menggelitik saya adalah saat beliau menyinggung soal asupan makanan haram. Bahwa makanan haram yang pernah masuk ke tubuh bisa menghalangi terkabulnya doa 40 hari dan mempengaruhi perangai secara jangka panjang. Saya tertegun. Lalu muncul pertanyaan yang menggantung:
“Kalau sudah terlanjur, lalu bertaubat, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?”
Dengan bijak ustadz menjawab. “Allah Maha Penerima taubat,” ujarnya. “Yang penting, jangan berhenti di penyesalan. Lanjutkan dengan perbaikan.”
Beliau kemudian memberi tiga langkah penyembuhan spiritual yang amat praktis.
Pertama, perbanyak volume kebaikan untuk menimpa keburukan.
Kalau selama ini kita berbuat baik seperti deret hitung — 1, 2, 3, 4 — maka ubahlah menjadi deret ukur — 1, 2, 4, 8, dan seterusnya. Artinya, percepat akselerasi amal. Lakukan lebih banyak, lebih tulus, dan lebih konsisten, karena kita sedang mengejar untuk mengganti jejak dosa masa lalu.
Kedua, perbaiki lingkungan.
Kebaikan sulit tumbuh di tanah yang tandus. Maka dekatilah orang-orang shalih, ikut majelis ilmu, dan isi ruang sosial kita dengan energi positif. Lingkungan yang baik akan menjadi pagar yang menjaga dari godaan lama.
Ketiga, belajar agama untuk diamalkan, bukan sekadar diketahui.
Ilmu agama seharusnya menjadi display, bukan sekadar tumpukan informasi di kepala. Artinya, apa yang kita pelajari harus tampak dalam tindakan—dalam tutur, keputusan, dan cara memperlakukan orang lain.
Sore itu, saya seperti mendapat peta baru untuk menata perjalanan hidup. Bahwa dosa masa lalu bukan vonis akhir, melainkan titik balik menuju perubahan. Allah tidak melihat seberapa kelam masa lalu kita, tapi seberapa bersungguh-sungguh kita memperbaikinya hari ini.
Jadi, jika pertanyaan di awal masih terngiang—“Apakah masih ada jalan untuk memperbaikinya?”
Jawabannya tegas: ada.
Selama kita mau memperbanyak kebaikan, memperbaiki lingkungan, dan menghidupkan ilmu dalam amal, pintu taubat akan selalu terbuka. Karena kasih sayang Allah jauh lebih luas daripada dosa yang pernah kita lakukan.
Dan di setiap langkah perbaikan itu, sesungguhnya kita sedang menulis ulang masa depan — dengan tinta kebaikan yang tak lagi ternoda. Mudah? Tentu tidak. Tapi itu bukan hal yang mustahil.