Kadang, di tengah riuhnya dunia digital, kita seolah dipaksa berlari agar tak tertinggal. Semua bicara soal Artificial Intelligence — seakan siapa yang tak segera membangun AI akan punah.

Tapi dari Sharing Session FHCI Connect Expert Series 4 bertema “Humanizing Digital Transformation: Building Ethical, Agile, and Future-Ready Talent Ecosystems”, ada satu kisah yang membuat saya berhenti sejenak dan berpikir ulang: sebuah refleksi dari kisah tentang KSATRIA, aplikasi AI yang dikembangkan PLN.

Ketika saya tanya berapa lama membangun KSATRIA, narasumber Pratama Adieputra Suseno, Kepala Satuan Digital dan Teknologi Informasi PLN, menjawab dengan sederhana tapi tajam: “Yang paling lama itu bukan bikin AI-nya, tapi menyiapkan datanya.”

Kalimat itu cukup menampar kesadaran kita semua — bahwa kecerdasan buatan tak akan pernah benar-benar “cerdas” jika datanya berantakan, anggarannya minim arah, dan penggunanya belum siap.

Pratama menjelaskan bahwa sebelum sampai ke tahap deploy, ada tahapan-tahapan krusial yang mereka lalui: mulai dari menyusun roadmap tiga tahun, membangun AI Lab, membandingkan teknologi, merapikan database, hingga memastikan model AI benar-benar terlatih sesuai standar dan kebutuhan. Tantangan utamanya bukan sekadar teknologi, melainkan kesiapan organisasi dan manusianya.

Itulah refleksi yang menarik: di balik teknologi canggih, tetap manusialah pusatnya. AI hanya alat — ia belajar dari data, tapi manusia belajar dari makna.

Antara Data, Makna, dan Gelembung AI
Fenomena ini mengingatkan saya pada video menarik dari Pak Dr. Indrawan Nugroho berjudul “Gelembung AI” — yang menggambarkan betapa banyak orang terjebak dalam euforia teknologi, ingin cepat berlari, tapi lupa menyiapkan fondasi.

Kita sering FOMO (Fear of Missing Out): berlomba membuat sistem canggih, padahal data belum siap, pengguna belum paham, dan arah strateginya belum jelas. Akibatnya, bukan akselerasi yang tercapai, justru kebingungan — bahkan kebocoran sumber daya. Di sinilah pentingnya “humanizing digital transformation.”

Membangun sistem pintar bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa paling siap — siap dengan data yang bersih, siap dengan pengguna yang paham, dan siap dengan budaya organisasi yang mau belajar.

Refleksi untuk Kita
Kisah KSATRIA mengajarkan bahwa transformasi digital sejati bukan dimulai dari aplikasi, tetapi dari kesadaran manusia.

Kita bisa membeli teknologi, tapi tak bisa membeli kesiapan.
Kita bisa meniru sistem, tapi tak bisa meniru mindset belajar.

Jadi, saat dunia berlari dengan AI, jangan buru-buru ikut arus hanya karena takut ketinggalan. Ambillah jeda untuk memastikan fondasinya kuat — datanya rapi, prosesnya terukur, dan manusia di dalamnya benar-benar paham arah yang dituju.

Karena pada akhirnya, yang membuat AI bernilai bukanlah “Artificial Intelligence” itu sendiri, tetapi “Applied Insight” — ketika manusia tetap memegang kendali atas arah, makna, dan manfaatnya.

AI boleh cerdas, tapi manusia tetap sumber makna. Dan di tengah gelembung teknologi yang penuh euforia, mungkin tugas kita bukan mengejar cepatnya perubahan — melainkan memastikan perubahan itu benar-benar membawa keberkahan.