Hujan turun perlahan malam itu. Bulirnya halus, jatuh satu-satu di atas genting, seperti lantunan doa yang meninabobokan bumi. Sambil menutup pagar rumah, kulihat bayangan dua bocah laki-laki berlarian kecil menembus gerimis menuju arah masjid.
“Fayo! Amzay! Jangan lupa sandal ditaruh di atas tembok, biar nggak basah,” teriakku sambil tersenyum.
Keduanya menoleh bersamaan, wajah mereka setengah tertutup hujan, tapi mata itu berbinar—mata anak-anak yang belajar tentang langkah kecil menuju rumah Allah.
Namun tidak selalu semudah itu.
Subuh, misalnya, adalah medan paling berat. Membuka mata di antara dingin dan kantuk menjadi ujian harian. Kadang kubisiki lembut, “Fayo, bangun ya Nak. Waktunya jadi pahlawan Subuh.”
Kadang kugendong bocah kelas enam SD ke kamar mandi sambil setengah tertawa. Adiknya yang kelas tiga SD jauh lebih mudah bangun, namun sekalinya ‘ngadat susahnya minta ampun untuk ke kamar mandi. Tidak jarang juga Ummi yang turun tangan dengan tegas tapi sabar.
“Sudah, Bi, sini biar Ummi yang bantu. Kalau mereka lihat Ummi bangun, malu kalau masih tidur,” katanya lembut.
Dan seperti biasa, beberapa menit kemudian dua bocah itu sudah bersiap. Satu mengucek mata, satu masih menguap, tapi kaki mereka akhirnya melangkah juga.
Begitulah keseharian kami—drama kecil yang selalu dimulai sebelum fajar.
Malam itu, selepas sholat Isya, kami bertiga berjalan pulang di bawah hujan rintik. Payung biru di tanganku terasa kecil menutupi kami bertiga. Jalanan sepi, hanya lampu gang yang menyala redup, memantulkan cahaya ke genangan air.
Di tengah perjalanan, suara Fayo memecah sunyi.
“Bi, kenapa sih harus sholat di masjid? Kan bisa aja di rumah. Temen-temen aku juga banyak yang nggak ke masjid.”
Aku menatapnya sekilas. “O, ya? Fayo nggak suka ke masjid?”
“Bukan nggak suka, Bi… tapi kadang capek. Lagian, kalau di rumah juga kan sama aja sholatnya.”
Aku menghela napas perlahan. “Abi ngerti. Kadang berat memang. Dulu pun di zaman Rasulullah, orang dewasa juga ada yang berat datang ke masjid, terutama buat sholat Isya dan Subuh.”
Fayo memandangku penasaran. “Emang di zaman Rasul kayak gimana, Bi?”
“Pernah,” jawabku pelan, “Rasulullah sampai bilang, kalau bukan karena kasihan sama anak-anak dan para wanita, beliau akan suruh orang membakar rumah orang-orang yang malas ke masjid. Artinya, ini bukan perkara kecil, Nak. Karena sholat berjamaah di masjid itu tanda cinta kita kepada Allah.”
Fayo terdiam beberapa langkah. Suara hujan jadi lebih terdengar.
“Tapi kan, Abi juga nggak selalu ke masjid,” katanya lirih.
Aku tersenyum. “Iya. Makanya Abi juga masih belajar. Abi nggak mau hanya nyuruh, tapi juga ngajak. Karena kalau Abi lelah, kalian pasti juga ikut berat. Kalau Abi semangat, kalian pun jadi ringan melangkah.”
Ia menatapku sejenak, lalu bergumam, “Biar lebih jelas, tanya ustadz saja bi. Tapi jangan nanya ke Ustadz Anwar, pasti belain abi”.
Aku tertawa kecil. “Ya udah. Kita cari di YouTube saja.”
Sesampainya di rumah, Ummi sudah menyiapkan Pizza Gaza kesukaan anak-anak. Sementara Amzay yang kalem duduk di dekat jendela, memandangi hujan yang belum juga berhenti.
Aku dan Fayo duduk bersisian, membuka ponsel dan mencari video yang dimaksud. Di layar muncul wajah Ustadz Abdul Somad. “Yang ini aja, Bi,” katanya semangat.
Kami pun menyimak.
Suara UAS terdengar tegas namun sejuk.
“Kenapa sholat berjamaah di masjid? Karena di masjid itu ada syiar, ada persaudaraan, dan ada cinta Allah. Rasulullah bersabda, siapa yang hatinya terpaut dengan masjid, akan mendapat naungan Allah di hari kiamat. Bahkan ada sahabat buta yang minta izin kepada Rasul untuk sholat di rumah karena jauh dari masjid. Tapi Rasul bertanya, ‘Apakah engkau mendengar adzan?’ Ia menjawab, ‘Iya.’ Maka Rasul berkata, ‘Kalau begitu, penuhilah panggilan itu.’”
Fayo mendengarkan dengan saksama. Di wajahnya kulihat sesuatu sedang bergerak—bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi kesadaran yang perlahan tumbuh.
“Berarti orang buta aja masih ke masjid ya, Bi?”
Aku mengangguk. “Iya, Nak. Karena yang berat bukan langkah kakinya, tapi langkah hatinya. Kalau hati udah terpaut sama masjid, hujan pun terasa ringan.”
Isya berikutnya, hujan turun lebih deras dari malam sebelumnya. Aku ragu, sempat berpikir mungkin kali ini cukup di rumah saja. Tapi dari balik pintu kamar terdengar suara kecil memanggil,
“Abi… ayo, masjidnya nunggu.”
Suara itu suara Fayo.
Aku tercekat. Kali ini anak-anak yang mengajak ke masjid.
Kami bertiga keluar rumah, menembus hujan. Payung biru kecil itu kini terasa lebih kokoh dari malam sebelumnya. Amzay menggenggam tanganku erat, sementara Fayo berjalan di depan dengan langkah mantap.
Di bawah cahaya redup lampu jalan, kulihat tiga bayangan kami menapak di genangan air. Hujan tak lagi terasa dingin, malah seperti menyelimuti dengan kasih.
Sesampainya di masjid, kami duduk sebentar sebelum iqamah. Aku menatap anak-anakku, lalu berbisik pelan, “Lihat, Nak… ini bukan sekadar ke masjid. Ini latihan hati. Suatu saat, ketika Abi sudah tak ada, langkah kalian ke masjid akan jadi doa yang terus hidup.”
Mereka mengangguk. Di wajah kecil itu ada ketenangan yang sulit dijelaskan.
Sholat Isya malam itu terasa berbeda. Setiap sujud seperti pelukan hangat dari langit. Dan di setiap takbir, ada rasa syukur yang menetes bersama hujan.
Pulang dari masjid, hujan belum berhenti. Kami berjalan pelan menyusuri jalan becek, tertawa kecil ketika kaki mereka memercikkan air.
“Bi,” kata Fayo tiba-tiba, “Berarti kalau nanti aku udah gede dan tinggal jauh, aku juga harus cari masjid ya?”
Aku mengangguk sambil menatap hujan. “Iya, Nak. Karena masjid itu bukan cuma tempat sujud. Itu rumah kedua kita—tempat hati pulang.”
Fayo tersenyum, Amzay memeluk payung kecil kami, dan aku menatap ke langit yang masih basah.
Dalam setiap tetes hujan, aku merasa seolah Allah sedang berbisik:
“Teruslah menanam. Suatu saat, langkah kecil itu akan tumbuh menjadi doa yang tak pernah padam.”
Dan malam itu, di bawah hujan yang lembut, aku tahu — perjalanan dua ratus meter menuju masjid adalah perjalanan terpanjang dalam hidupku:
perjalanan dari rutinitas menuju makna, dari kebiasaan menuju cinta.
Kadang aku berpikir, mengajak anak ke masjid itu bukan soal perintah, tapi tentang menuntun dengan cinta. Anak-anak bukan robot yang bisa disuruh, mereka cermin yang memantulkan kebiasaan kita. Kalau kita malas, mereka berhenti. Tapi kalau kita sabar, mereka mengikuti.
Fayo pernah bilang, “Abi enak, kalau dibangunin sama Ummi bisa langsung semangat.” Dan aku tersenyum, karena benar — setiap anak punya cara sendiri untuk disentuh hatinya.
Ada yang bangun kalau dibisiki, ada yang perlu disentuh lembut, ada juga yang mau kalau diajak bercanda dulu. Kadang perlu sedikit air di pipi, kadang cukup genggaman tangan yang hangat. Tapi semua itu bukan sekadar trik, melainkan tanda kasih sayang yang menyatu dengan ajakan ibadah.
Sebab pada akhirnya, sholat berjamaah bukan hanya mengajarkan disiplin waktu, tapi juga kedekatan jiwa. Ketika tangan kecil mereka kugandeng menuju masjid, aku sedang mengajarkan bahwa hidup ini pun perjalanan menuju Allah — kadang berat, kadang basah, tapi selalu indah jika dijalani bersama.
Dan setiap kali hujan turun, aku selalu teringat langkah-langkah kecil itu.
Langkah yang sederhana, tapi di situlah cinta dan doa diam-diam bertumbuh.