Sore menjelang waktu berbuka puasa, jalanan sepanjang Pujasera Subang disemuti pengunjung. Deretan pedagang kaki lima terkonsetrasi di ujung jalan. Beraneka macam makanan dijajakan. Dan sore itu, hampir semuanya dipadati antrian pembeli. Salah satunya tukang Cilor Idaman.
Adalah Faro (8), anak kedua, ingin sekali berbuka puasa dengan cilor. Jam 16.30 kami cus meluncur ke Pujasera dengan Si Mosil, motor Honda Supra X 125 tahun 2005 berwarna biru. Kami pun langsung larut dalam antrian yang didominasi ibu-ibu. Sementara tukang Cilor dengan muka cool menggoreng cilor tusuk demi tusuk.
Ia mengambil 20 tusuk cilor yang masih mentah. Kemudian membuka karet pengikat tusukannya, 10 tusuk dimasukkan ke minyak yang panas. Setelah itu diangkat untuk ditiriskan, sambil kemudian memasukkan 10 tusuk berikutnya. Tusukan yang sudah ditiriskan itu dicelupkan ke dalam telor yang sudah dikucek kemudian digoreng bergantian dengan cilor sebelumnya. Aroma telor langsung tercium menggoda.
Cilor adalah makanan khas Sunda yang terbuat dari tepung kanji atau yang biasa disebut “aci” dalam Bahasa Sunda. Cilor sendiri merupakan singkatan dari aci dan telur yang dimasak dengan cara aci dibalut dengan telur. Di Subang, group pedagang cilor maupun cilok dengan ‘merek’ Idaman banyak dijumpai. Harga pertusuknya seribu rupiah saja. Terdapat pilihan bumbu gurih atau dengan saos yang pedas, tinggal dipilih sesuai selera.
Tidak terasa, kami sudah mengantri hampir setengah jam. Seolah terhipnotis, mata tertuju pada proses pembuatan cilor tersebut. Mulai dari mengambil yang mentah, menggorengnya setengah matang, kemudian mencelupkannya ke dalam telor lalu digoreng hingga membungkus ke dalam plastik dengan tambahan bumbunya. Akhirnya, penantian itu tiba diujungnya, dua bungkus cilor ditukar dengan selembar uang dua puluh ribuan.