Program membangun budaya baru sering kita dengar. Baik di level perusahaan, organisasi bahkan dalam kontek kenegaraan. Pernah ada yang namanya revolusi mental, kemudian yang terbaru ini ada revolusi akhlak. Semuanya bertujuan baik untuk menjadikan tatanan kehidupan baru yang lebih baik. Namun, sayangnya terdapat gap antara dengung kampanye dengan praktek yang dihasilkannya. Contoh lainnya di perusahaan dengan jumlah karyawan yang relatif tidak banyak pun, program budaya perusahaan yang baru seringnya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Padahal itu sudah menggandeng konsultan dengan banderol yang lumayan tinggi.
Lalu kenapa? Berangkat dari pengalaman, banyak program pembangunan budaya perusahaan tidak menemui hasil yang diharapkan karena tidak ada semangat seiring sejalan. Artinya, seringkali di jajaran atas organisasi yang merembet ke bawahnya tidak memiliki kesamaan langkah dan tujuan. Ibarat perahu, arah mendayungnya tidak sama. Bahkan perumpamaan lebih sadis lagi, ada yang sibuk mendayung, ada pula yang sibuk melubangi perahunya.
Lalu bagaimana? Ada yang namanya metode dakwah bil hal, yang memiliki makna dakwah dengan perbuatan nyata yang meliputi keteladanan seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Begitupun dalam membangun budaya baru, unsur keteladanan dari top manajemen maupun agen perubahan yang ditunjuk akan lebih berdampak. Perubahan secara top down diyakini akan lebih efektif daripada perubahan dimulai dari bawah. Ibarat putaran roda kapal, putaran dari bawah yang lemah tidak memiliki cukup tenaga untuk menggerakkan kapal. Namun, alih alih menjadi teladan, seringnya malah mempertontonkan hal yang bertolak belakang dengan budaya baru yang sedang dibangunnya sehingga menyebabkan yang diajaknya untuk berubah menjadi skeptis.
Sebagai penutup, ada tulisan terkenal yang dipahat di atas sebuah makam Westminster Abbey, Inggris dengan catatan tahun 1100 Masehi. Ketika aku muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah Dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itupun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah Negeriku. Namun tampaknya hasrat itupun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku – orang-orang yang paling dekat denganku. Tapi celakanya merekapun tidak mau diubah! Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari: “Andaikan yang pertama kuubah adalah Diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah Keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi akupun mampu memperbaiki Negeriku; kemudian siapa tahu, akupun bisa mengubah Dunia.”