Mentari pagi sudah begitu terang di luar. Padahal jarum jam baru menunjuk ke angka tujuh. Maklum, waktu Subuh di Nopember ini hampir menyentuh pukul empat pagi. Keriangan pagi pun terasa di Rumah Semesta. Dua krucil (7 dan 4 tahun) sedang bersiap sholat dhuha. Yang besar mengenakan celana pendek dan bersiap memakai sarungnya. Sementara, adiknya memakai celana panjang.

“Abi, mana sarungku,” tanya si kecil.

“Kan Dede pakai celana panjang, auratnya tertutup,” jawab abinya sambil menggelar sejadah.

Sejurus kemudian.

“Abi, mana sarungku? Ini auratku terlihat,” ujarnya lagi sambil memperlihatkan lututnya yang terbuka.

Rupanya dia menggulung bagian bawah celana panjangnya hingga di atas lutut. Sambil tersenyum simpul, abinya akhirnya memakaikan sarung ke si kecil.

Sarung tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sarung diperkirakan muncul di Indonesia pada abad ke-14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah. Seiring berjalannya waktu, sarung di Indonesia menjadi busana yang identik dengan budaya Muslim, dan digunakan sebagai busana sehari-hari.

Boleh dikatakan sarung ini banyak memiliki kegunaan dan hampir ada di setiap rumah, terutama yang muslim. Kain yang dililitkan dari pinggang sampai ke bawah ini biasa dipakai ketika mengaji, ibadah, diskusi, atau kegiatan berjamaah lainnya. Sarung juga dapat digunakan untuk kegiatan kesenian dan formal. Bahkan, sarung dipakai sebagai pengganti selimut ketika tidur.