“Jangan-jangan ini kali ketiga saya harus ketinggalan pesawat lagi,” gumam saya dalam hati dengan mata lurus menatap kemacetan di hadapan. Rupanya situasi tegang tidak saya rasakan sendiri, teman seperjalanan dan yang mengantarpun nampak gelisah.
Deretan mobil di depan tidak bergerak sementara jarum jam telah menunjukkan pukul 16.00 wita. Pesawat kami dijadwalkan terbang 16.25 wita dari Bandara APT Pranoto Samarinda. Hanya tersisa 25 menit untuk tiba di lokasi dengan kondisi belum check in.
Bandar Udara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto merupakan bandar udara di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Bandara yang berlokasi di kawasan Sungai Siring ini beroperasi pada 24 Mei 2018 dan diresmikan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menggantikan bandara sebelumnya, yakni Bandar Udara Temindung yang sudah tidak dapat dikembangkan. Nama bandara ini diambil dari Gubernur Kalimantan Timur yang pertama, APT Pranoto.
Sempat beberapa lama tidak memiliki bandara yang refresentatif, perjalanan udara lebih banyak mengarah ke Sepinggan Balikpapan dan dilanjutkan perjalanan darat ke kota-kota yang ada di Kaltim seperti Samarinda, Tenggarong, Bontang dan Sangatta. Walaupun ada Bandara Termindung di Samarinda dan Bandara Badak di Bontang, namun penerbangan sangat terbatas. Karenanya, kehadiran Bandara APT Pranoto ini disambut baik karena dapat memangkas waktu perjalanan.
Mungkin karena masih baru, infrastruktur pendukungnya masih dirasakan kurang. Saat pesawat landing terasa sekali pesawat mengerem dengan sedikit keras karena runway tidak terlalu panjang. Pada saat penumpang turun dan menuju terminal, salah satu tempat favorit yang wajib disinggahi pertama kali adalah toilet. Maklum pipis di langit sama di bumi rasanya berbeda.
Namun toilet di Bandara APT Pranoto ini relatif kecil. Hal ini nampak dari antrian yang mengular hingga keluar toilet. Dapat dibayangkan, antrian ini hanya dari penumpang satu pesawat saja, bagaimana jika beberapa pesawat?
Area parkir kendaraan cukup luas, namun terlihat lengang. Hanya ada beberapa kendaraan saja nampak terparkir. Pada saat keluar pintu kedatangan, saya disambut dengan berbagai tawaran rental kendaraan menuju beberapa kota sekitar Samarinda. Nampaknya itu dari travel. “Tidak, Pak. Saya dijemput. Terima kasih,” jawab saya sambil tersenyum.
Telepon genggam berbunyi, kawan yang jemput terlambat datang karena ada meeting dadakan dan terhambat macet di jalan. Akhirnya ngopi dulu sambil mencari wangsit. Warung kopi, itu yang lebih tepat ketimbang menyebutnya cafe. Dua gelas kopi pun kami beli, lima ribu rupiah saja pergelasnya. Menyeruput kopi panas memang nikmat, hingga akhirnya kawan datang menjemput.
Kembali ke awal cerita. Misi saya sudah selesai, selepas sholat Jumat dan makan siang, melncurlah kami dari Tenggarong ke Bandara APT Pranoto sekitar pukul dua kurang. Sempat tersendat di sekitar Samarinda, ketegangan mulai terasa ketika memasuki pukul 15.30 wita. Jalanan dengan medan naik turun dan berkelok akhirnya menghentikan laju kendaraan kami. Ada perbaikan jalan di depan sehingga harus bergantian dari dua arah yang berbeda. Sementara jarum jam tidak kenal kompromi, dia terus melaju mendekati pukul 16.00. Penerbangan kami take off 16.25 wita.
Google map menginformasikan perjalanan kami sekitar 16 menit lagi dengan jarak tempuh 7,9 km lagi. Terus merayap hingga akhirnya tepat pukul 16.00 wita kami berada di titik kemacetan. Sedikit lega karena jalanan selanjutnya berwarna biru. Namun laju kendaraan melambat, rupanya terhalang tiga mobil di depan ada kendaraan bak terbuka mengangkut rumput berjalan pelan. Lebar jalan yang hanya cukup untuk dua kendaraan membuat mati gaya tidak bisa menyalip. Sementara di jalur berlawanan juga didera kemacetan menggila. Untungnya tak lama kemudian kendaraan bak terbuka itu menepi. Setelah itu kendaraan kami melaju cepat dan tiba di bandara pukul 16.10.
Pada saat memasuki pintu kedatangan, petugas bertanya, “Tujuan mana?,” “Citilink Jakarta,” jawab saya, “O ya cepat… cepat. Sudah mau tutup,” jawabnya lagi.
Setengah berlari kami menuju konter check in. Petugas check in pun tidak banyak ba bi bu lagi langsung memproses boarding pass. Rupanya yang senasib dengan kami ada juga di belakang, terengah-engah mengejar pesawat. Alhamdulillah, akhirnya bisa duduk manis juga di pesawat. Tak lupa mengabari kawan yang mengantar, “Aman, sudah dapat balik kanan,” lapor saya. Kebetulan kawan menunggu dulu untuk memastikan tidak ketinggalan pesawat.
Penumpang penerbangan Citilink sore ini hanya sekitar 25 persen saja. Nampak kosong dan saya leluasa tiga kursi sendiri, bahkan enam kursi berjejer. Situasi kondusif ini pun saya manfaatkan untuk pesan Pop Mie dan secangkir milo panas guna meredakan ketegangan kemacetan tadi. Setelah bayar 40 ribu rupiah, kemudian membuka tablet sambil menikmati Pop Mie dan coklat panas di ketinggian. Serasa naik pesawat carter.
Tersenyum geli ingat perjalanan tadi. Dalam gelisah coba minta bantuan kantor untuk check in online, namun sudah tidak bisa. Iseng juga cari penerbangan berikutnya jaga-jaga kalau ketinggalan pesawat, tidak ditemukan juga.
O, ya. Saya baru ngeh juga pada saat keberangkatan dengan Garuda Indonesia, sudah tidak tersedia koran lagi dan makanannya pun sekarang berkurang, tinggal dua macam saja. Saya kebagian omelet plus buah-buahan saja. Mungkin ini efek perang harga.
Akhirnya awan tipis yang menggelantung di langit Jakarta menyambut pesawat pantun ini. Landing dengan selamat, teriring hamdallah. Terima kasih secara khusus buat Mas Kar dan Om Eddy Kerupuk yang telah menemani kunjungan ini.