Banyak orang bilang, perjalanan ke sebuah kota baru akan terasa lengkap jika kita sempat mencicipi kuliner khasnya. Dan Tasikmalaya punya satu ikon yang seolah wajib masuk daftar: Tutug Oncom (TO). Sayangnya, tak sedikit yang singgah di kota ini tanpa sempat menyuap satu sendok pun sajian sederhana yang sebenarnya sarat makna. Padahal, dari aroma hingga rasanya, tutug oncom menyimpan cerita panjang tentang tradisi, kehangatan, dan identitas orang Tasik.
Sejarahnya menarik. Tutug oncom lahir dari kreativitas masyarakat Priangan Timur. Oncom—fermentasi kacang atau ampas tahu—yang dulu dianggap makanan rakyat jelata, ditumbuk (ditutug) lalu dicampurkan dengan nasi hangat. Perpaduan sederhana ini menjelma jadi menu istimewa yang gurih, harum, sekaligus mengenyangkan. Apalagi jika ditemani lauk ikan asin, lalapan, atau sambal dadak yang segar, sepiring TO bisa membuat siapa saja merasa pulang ke rumah.
Tasikmalaya memang identik dengan tutug oncom. Bukan hanya sekadar makanan, ia adalah simbol kerendahan hati dan rasa syukur. Tak heran, banyak perantau asal Tasik yang ketika rindu kampung halaman, justru rindu pada sepiring nasi TO hangat dengan lalapan segar di sisinya.
Kalau berburu TO di Tasik, ada beberapa spot legendaris yang wajib dicatat. Kawasan Dadaha terkenal dengan deretan warung nasi tutug oncom yang selalu ramai pembeli. Selain itu, banyak rumah makan tradisional di pusat kota hingga pinggiran jalan yang menjadikan TO sebagai menu utama. Masing-masing punya racikan khas, namun tetap mempertahankan cita rasa asli yang membumi.
Menikmati tutug oncom bukan sekadar urusan perut. Ada sensasi nostalgia dan kebersahajaan di setiap suapannya. Kita diajak untuk meresapi bahwa sesuatu yang sederhana bisa menjadi istimewa, bila diolah dengan cinta dan dinikmati dengan penuh syukur. Dan mungkin, di situlah letak keistimewaan TO: ia bukan sekadar kuliner, melainkan rasa yang menyatukan, membangkitkan kenangan, dan selalu membuat kita ingin kembali.