Beberapa waktu lalu, saya menghadiri temu kangen dengan para alumni perusahaan tempat saya bekerja. Suasana hangat penuh nostalgia, penuh canda dan cerita. Namun, di balik tawa itu, ada juga kisah-kisah yang membuat hati terenyuh.
Mayoritas para pensiunan, baik yang dulu pernah menjabat sebagai pejabat maupun karyawan biasa, kondisinya tidak terlalu menggembirakan. Ada yang masih berjuang dengan kesehatan, ada yang kesulitan secara finansial, bahkan ada yang kehilangan semangat karena merasa tidak lagi dibutuhkan.
Perusahaan memang berusaha hadir melalui program tanggung jawab sosial ataupun panitia HUT perusahaan. Bantuan diberikan secara rutin, mulai dari sembako hingga santunan. Tapi dalam obrolan dengan salah satu senior alumni, keluar kalimat yang sangat dalam:
“Perusahaan jangan hanya ngasih ikan, tapi kailnya juga. Supaya alumni bisa mandiri.”
Kalimat itu menempel di kepala saya. Sederhana, tapi penuh makna. Memberi ikan memang membantu, tapi hanya sebentar. Memberi kail artinya membekali dengan kemampuan agar tetap bisa bertahan, berdaya, dan mandiri, meskipun sudah tidak lagi aktif bekerja.
Sayangnya, usulan ini bukan tidak ditangkap perusahaan, hanya saja realisasinya cukup menantang untuk pemberdayaan alumni. Justru yang menjadi concern saya bagaimana mempersiapkan yang masih bekerja untuk lebih siap menjalani masa-masa pensiun.
Mengapa Kita Perlu Second Curve?
Dari pertemuan itu saya belajar satu hal: masa pensiun bukan lagi jauh di depan, tapi bisa hadir lebih cepat daripada yang kita kira. Menjadi pensiunan berarti kita tidak lagi bergantung pada gaji bulanan, sementara kebutuhan hidup terus berjalan.
Itulah sebabnya, kita butuh yang disebut second curve—sebuah jalan atau kurva kehidupan kedua, yang kita siapkan sebelum kurva pertama (karier di perusahaan) menurun. Second curve adalah fase baru yang memberi kita penghasilan, makna, dan aktivitas produktif setelah kita selesai dengan pekerjaan utama.
Kalau kurva pertama adalah masa kita bekerja di perusahaan, maka second curve bisa berupa usaha sampingan, profesi baru, karya, atau aktivitas sosial yang bernilai.
Pertanyaannya: kapan kita harus menyiapkan second curve?
Jawabannya: sejak masih aktif bekerja. Jangan menunggu pensiun datang. Karena menyiapkan kehidupan pasca kerja butuh waktu, energi, dan konsistensi.
Apa yang Harus Dipersiapkan?
1. Mindset dan Mental
Pensiun bukan akhir, tapi transisi. Kita harus siap mental menerima bahwa status dan jabatan akan hilang. Yang tersisa adalah siapa diri kita sebenarnya.
2. Kesehatan
Tanpa kesehatan, semua rencana hanya mimpi. Mulailah dengan olahraga ringan, pola makan sehat, dan pemeriksaan rutin sejak dini.
3. Keuangan
Jangan habiskan semua penghasilan untuk gaya hidup. Sisihkan untuk tabungan pensiun, investasi sederhana, atau usaha kecil yang bisa berkembang.
4. Keterampilan Baru
Jangan puas dengan kemampuan sekarang. Belajarlah hal-hal yang bisa menghasilkan nilai tambah: menulis, berbicara, teknologi, atau keterampilan praktis lain.
5. Jaringan dan Silaturahmi
Setelah pensiun, banyak pintu terbuka bukan karena CV, tapi karena relasi. Rawat silaturahmi, bangun jaringan dengan komunitas di luar pekerjaan.
6. Spiritualitas dan Amal
Ketika usia bertambah, semakin kita butuh pegangan kuat. Aktivitas ibadah dan sosial bukan hanya bekal akhirat, tapi juga memberi ketenangan batin.
Tips Aplikatif: Mulai dari Sekarang
• Sisihkan 10–20% penghasilan untuk dana pensiun atau investasi.
• Bangun usaha kecil-kecilan sambil bekerja, tidak harus besar, yang penting berjalan.
• Ikuti komunitas atau pelatihan sesuai minat. Misalnya kelas menulis, wirausaha, atau pengembangan diri.
• Mulai rajin berbagi ilmu atau pengalaman. Bisa lewat tulisan, video, atau forum kecil. Dari berbagi, sering lahir peluang baru.
• Rawat kesehatan dengan disiplin sederhana: tidur cukup, olahraga teratur, kurangi gula dan gorengan.
Seruput Kopi Panas
Hidup adalah perjalanan panjang dengan banyak tikungan. Pensiun bukanlah garis akhir, tapi persimpangan menuju jalan baru. Jangan tunggu sampai pensiun tiba baru bingung harus apa. Siapkan kail kita sejak sekarang, tempa second curve kita dari dini.
Karena pada akhirnya, hidup yang mandiri, sehat, produktif, dan penuh makna jauh lebih berharga daripada sekadar menunggu bantuan datang. Seruput kopi panas, mari kita siapkan kehidupan kedua dengan bijak.