Ada masa ketika bangun pagi itu terasa ringan. Mau lari, hayuk. Mau main bola, ayo. Mau naik tangga empat lantai pun masih sempat ngobrol di tengah jalan. Tapi sekarang, setelah usia lewat kepala empat, badan mulai punya bahasa sendiri. Lutut suka protes, punggung minta pijat, dan niat olahraga sering kalah sama panggilan bantal.
Namun begitulah hidup. Tubuh kita sedang mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, dan yang perlu kita kejar bukan lagi kecepatan, tapi keseimbangan. Kalau dulu olahraga tujuannya biar gagah di foto atau kuat main sampai malam, sekarang tujuannya lebih sederhana: biar besok masih bisa bangun segar, masih bisa rukuk dan sujud tanpa nyeri.
Saya teringat satu kutipan dari M. Scott Peck yang dalam maknanya:
“Discipline is the basic set of tools we require to solve life’s problems.”
Disiplin adalah seperangkat alat untuk menyelesaikan persoalan hidup.
Dan memang benar. Banyak keruwetan hidup ini yang sebenarnya bisa berkurang separuhnya — kalau saja kita mau sedikit lebih disiplin. Termasuk soal menjaga kesehatan. Karena kalau kita abai, tubuh akan menagihnya dengan caranya sendiri: cepat lelah, mudah sakit, atau susah tidur.
Di usia seperti ini, olahraga bukan lagi tentang mengejar rekor, tapi tentang menjaga ritme. Kita tak perlu latihan berat, cukup bergerak teratur agar tubuh tahu kita masih peduli. Jalan kaki pagi, misalnya. Sambil menikmati udara, menyapa tetangga, atau sekadar merasakan sinar matahari yang hangat di wajah. Kadang bersepeda santai di akhir pekan, atau berenang agar badan lebih lentur dan pikiran lebih jernih.
Tidak harus setiap hari, yang penting rutin. Karena tubuh kita ini seperti mesin, kalau terlalu lama diam, yang berkarat bukan cuma sendi, tapi juga semangat. Dan di usia 40-an, olahraga bukan soal keringat, tapi soal niat.
Niat menjaga amanah tubuh, niat agar langkah ke masjid tetap ringan, niat supaya kita bisa bermain dengan anak-anak tanpa alasan “capek duluan.”
Kalau boleh berbagi, ada beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan:
• Pilih olahraga yang kita sukai. Jalan, bersepeda, renang, atau senam ringan. Yang penting kita senang menjalaninya.
• Sedikit tapi rutin. Tidak perlu lama, yang penting konsisten.
• Nikmati prosesnya. Jangan kejar hasil cepat, cukup rasakan napas dan gerak yang menandakan kita masih hidup dengan penuh syukur.
Dan tentu, setelah tubuh bergerak, tak ada yang lebih nikmat daripada duduk tenang, menatap pagi, dan menyeruput secangkir kopi panas. Ada rasa lega di situ — campuran antara keringat, syukur, dan ketenangan.
Usia 40-an bukan waktu untuk menolak tua, tapi waktu untuk merawat muda yang tersisa di dalam diri. Bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa bijak kita menjaga langkah. Karena tubuh yang sehat bukan soal kebugaran semata, tapi tanda bahwa kita masih menghargai hidup yang Tuhan beri.
Jadi, mari kita bergerak — pelan tak apa, asal terus berjalan. Seruput kopinya, hirup dalam-dalam, lalu ucapkan syukur dalam hati. Karena hidup tak perlu dikejar-kejar… cukup dijaga dengan penuh cinta dan disiplin.