Setiap orang punya kesukaan menu sarapan pagi. Bagi saya, walaupun tidak sering, salah satunya adalah semangkuk bubur ayam versi lengkap tanpa pengecualian.

Saya biasanya duduk di bangku plastik biru, di depan gerobak bubur ayam Cirebon langganan. Tidak neko-neko — tapi isinya harus paripurna. Ada bawang daun, kacang, suwiran ayam, kecap, sambal, dan kerupuk. Kalau ada tambahan ati ampela, saya anggap itu bonus dari semesta.

Namun, saya termasuk penganut mazhab bubur tidak diaduk.

Alih-alih mengaduk-aduk isi mangkuk hingga menyerupai adonan cat, saya lebih suka menyeruput perlahan dari pinggir, membentuk semacam tebing kecil yang pelan-pelan tergerus sendok. Ada kenikmatan tersendiri melihat lapisan rasa itu terbuka satu demi satu.

Sendok pertama gurih, sendok kedua manis, sendok ketiga pedas — dan semuanya tetap menjaga keindahan visual bubur yang masih utuh di tengah. Saya selalu percaya, bubur ayam itu bukan sekadar sarapan, tapi pengalaman hidup dalam semangkuk nasi lembut.

Dan di sinilah perbedaan itu bermula: antara yang memilih mengaduk, dan yang memilih menikmati sebagaimana adanya.

Asal Usul Bubur Ayam: Dari Negeri Panda ke Warung Nusantara
Konon, bubur ayam berakar dari tradisi Tionghoa kuno bernama congee — bubur nasi polos yang disantap dengan lauk sederhana. Namun begitu masuk ke Nusantara, bubur ayam mengalami metamorfosis rasa dan budaya. Orang Indonesia menambahkan rempah, kuah kuning, daun bawang, sambal, kerupuk, hingga emping.

Dari situlah lahir bubur ayam gaya Betawi, bubur Bandung, bubur Cianjur, bubur Tasik, bubur Cirebon sampai bubur ayam kaki lima yang gerobaknya berderit di depan kompleks setiap pagi. Menariknya, seiring dengan berkembangnya cita rasa, lahir pula dua mazhab besar: Mazhab Diaduk dan Mazhab Tidak Diaduk.

Dan seperti halnya perbedaan pandangan hidup, kedua kubu ini sama-sama punya logika, filosofi, dan gengsi masing-masing.

Mazhab Diaduk: Filosofi Kesetaraan Rasa
Penganut mazhab ini percaya: semua rasa harus menyatu. Mereka tidak ingin ada lapisan dominan, semua unsur harus egaliter. Kuah, ayam, kecap, sambal — semua larut dalam harmoni yang sempurna. Setiap sendok rasanya sama, stabil, dan tidak mengejutkan.

Bagi mereka, hidup yang ideal adalah hidup yang merata: tidak ada bagian terlalu asin, tidak ada bagian terlalu manis. Semua adil, semua setara. Persis seperti tim yang solid di kantor — kalau satu orang terlalu menonjol, keseimbangan tim bisa terganggu.

Namun, di balik filosofi kesetaraan itu, ada satu risiko: bubur kehilangan karakternya.
Setelah terlalu lama diaduk, bentuknya kabur, tampilannya buram, dan teksturnya berubah seperti adonan lem. Tapi bagi mereka, penampilan bukan segalanya. Yang penting: rasanya satu, utuh, dan menyatukan.

Mazhab Tidak Diaduk: Filosofi Eksplorasi dan Ketidaktergesaan
Sementara bagi kami, penganut mazhab tidak diaduk, bubur ayam adalah karya seni yang harus dihormati bentuk dan lapisannya. Mengaduk bubur sama saja dengan menghancurkan tatanan yang sudah rapi.

Kami ingin menikmati petualangan rasa yang berbeda di setiap sendoknya. Ada sendok yang dominan ayam, ada yang gurih karena kecap, ada yang pedas karena sambal, ada pula yang sekadar bubur polos — seperti kehidupan, kadang penuh warna, kadang datar, tapi tetap bernilai.

Mazhab ini juga mengajarkan mindfulness: makan pelan-pelan, menikmati setiap gigitan, dan tidak terburu-buru mencampur semuanya. Kami percaya, kenikmatan hidup sering hadir ketika kita berani menikmati perbedaan tanpa harus menyatukannya secara paksa.

Tentu saja, kami pun sadar ada risiko. Kadang, sendok pertama terlalu hambar, kadang sambalnya numpuk di satu sisi. Tapi bukankah justru di situ letak serunya hidup — kita tak pernah tahu sendok berikutnya seperti apa?

Tips Damai Menikmati Bubur Ayam
1. Sesuaikan dengan mood.
Kalau pagi sedang ingin ketenangan dan konsistensi, silakan diaduk. Tapi kalau ingin kejutan dan variasi rasa, nikmati perlahan tanpa diaduk.
2. Jangan langsung tambahkan sambal.
Hidup, seperti bubur, perlu dicicipi dulu. Kadang yang kita kira hambar, ternyata pas.
3. Pilih sendok besar tapi tidak dalam.
Karena terlalu dalam membuat kita kehilangan kendali, sementara terlalu kecil membuat kita lelah sendiri.
4. Nikmati aromanya sebelum menyuap.
Seperti kopi, aroma pertama bubur ayam sering membawa nostalgia pagi-pagi masa kecil — suara sendok logam dan deru motor tukang bubur yang khas.
5. Jangan berdebat soal cara makan.
Karena bubur ayam bukan soal benar atau salah, tapi soal selera dan cara menikmati hidup.

Kalau dipikir-pikir, perbedaan mazhab bubur ayam ini sebenarnya cerminan gaya hidup kita juga. Ada yang suka menyatukan semuanya, ada yang menikmati tiap fase secara terpisah. Ada yang ingin cepat selesai, ada yang ingin menikmati perlahan-lahan.

Yang penting bukan diaduk atau tidak diaduk, tapi tidak lupa bersyukur atas semangkuk kehangatan yang tersaji. Karena sering kali, kita terlalu sibuk memperdebatkan cara makan bubur — sampai lupa menikmatinya sebelum dingin. Hidup pun sama.

Kita terlalu sering membahas cara, lupa menikmati rasa. Padahal pada akhirnya, semua bubur akan habis juga — yang membedakan hanya bagaimana kita menikmatinya.

☕ Salam Seruput Kopi Panas — karena yang membuat bubur (dan hidup) terasa nikmat bukan cara kita mengaduknya, tapi hati yang kita bawa saat menikmatinya.