Ada masa ketika pena terdiam, bukan karena kehilangan ide, tapi karena hidup tengah mengajak kita berjalan di jalur lain. Begitulah kira-kira yang saya rasakan setahun terakhir. Rutinitas pekerjaan, ritme tanggung jawab, dan prioritas hidup sempat membuat proyek menulis buku harus terhenti. Namun, bara itu tak pernah benar-benar padam. Ia hanya menunggu waktu untuk dinyalakan kembali.
Dan Oktober ini, bara itu menyala lagi.
Sebagai pemanasan untuk kembali menulis buku solo, saya bergabung dalam proyek antologi puisi bertema “Cinta Tak Berbatas.” Tema ini seperti mengetuk ruang batin yang lama tak tersentuh. Menulis puisi, bagi saya, bukan sekadar menyusun rima dan diksi, tetapi menata rasa—menjadikan kata sebagai jembatan antara hati dan langit.
Puisi pertama saya di buku ini berjudul “Madinah dalam Rinduku.” Puisi ini lahir dari kerinduan yang lembut namun dalam—kerinduan kepada Rasulullah ﷺ yang saya lukiskan melalui bayangan kota Madinah. Di bawah langitnya yang teduh, dalam sejuk hembus anginnya yang seolah membawa salam, rindu itu menjelma doa. Saya menulis:
“Kubah hijau memantulkan cahaya kasih,
Menembus hati yang lama bersedih,
Wahai Rasul, kekasih sejati,
Rinduku mengalir tanpa henti.”
Setiap kali membayangkan kubah hijau Masjid Nabawi, ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Madinah bukan sekadar kota; ia adalah ruang spiritual tempat rindu bertemu dengan doa. Dalam bait-baitnya, saya mencoba merangkum perasaan umat yang belum sempat berziarah: rindu yang menembus jarak, doa yang tak mengenal waktu.
Puisi ini menjadi bentuk ziarah batin saya—mengingat bahwa cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah cinta yang menuntun, menenangkan, sekaligus menyalakan semangat berbuat baik dalam keseharian.
Puisi kedua berjudul “Langit Masa Kecilku.” Berbeda dengan nuansa religius puisi pertama, karya ini membawa saya pulang—ke masa kecil di pedesaan Pandeglang. Saya ingin merekam kembali kesederhanaan yang dulu menjadi sumber kebahagiaan sejati: berjalan kaki menuju sekolah, berenang di sungai, melompat di irigasi, dan tertawa bersama teman-teman di pematang sawah.
“Kami berlari di pematang sawah,
Berenang di sungai jernih mengalir,
Melompat di irigasi, tanpa pernah khawatir.”
Puisi ini adalah nostalgia yang jujur. Ia mengingatkan bahwa bahagia tidak selalu harus dicari jauh-jauh; kadang ia justru ada di masa yang telah kita lewati, tersimpan dalam memori sederhana yang murni. Dalam setiap larik, saya seperti menatap kembali diri kecil yang berani bermimpi, sebelum dunia menjadi rumit.
Dua puisi ini menjadi small win di bulan Oktober—langkah kecil namun berarti untuk menyalakan kembali semangat menulis yang sempat terhenti. Setelah ini, target saya berikutnya adalah menyelesaikan dua naskah buku solo pada November dan Desember. InsyaAllah.
Menulis lagi setelah vakum ternyata seperti menyeruput kopi panas di pagi hari. Ada rasa getir yang menyadarkan, aroma yang membangkitkan, dan kehangatan yang membuat kita ingin melanjutkan tegukan berikutnya.
Karena sejatinya, menulis bukan sekadar aktivitas, tapi ibadah rasa. Ia menghidupkan kenangan, menyalakan doa, dan mengikat makna agar tak hilang ditelan waktu.