“Apakah hati kita sudah benar-benar terpaut pada masjid?”
Pertanyaan sederhana ini bisa jadi terasa menampar. Kita mungkin sering datang ke masjid, tapi hanya sebagai rutinitas. Salat, lalu pulang. Kadang kita pun menjadi pengurus, tapi yang kita urus hanya fisik bangunannya, bukan suasananya, bukan hatinya. Kadang kita rajin hadir, tapi sekadar menjadi penonton, bukan bagian dari penggerak kehidupan masjid.
Padahal, ada janji besar dari Rasulullah bagi mereka yang hatinya terpaut pada masjid. Dalam sabdanya, beliau menyebutkan salah satu dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat adalah mereka yang hatinya tertambat pada masjid.
Apa yang membuat seseorang mencintai masjid? Bukan semata karena arsitekturnya yang megah atau pendingin ruangannya yang sejuk. Tapi karena masjid adalah rumah Allah, tempat hati menemukan ketenangan dan iman mendapatkan asupan harian. Di situlah energi rohani diisi ulang, dan hubungan kita dengan Allah serta sesama manusia dikuatkan kembali.
Namun, realitas di lapangan kerap menyedihkan. Masjid megah banyak, tapi yang benar-benar hidup, jarang. Ramai hanya saat Ramadan, sepi kembali ketika bulan berganti. Anak-anak muda menjauh karena merasa masjid terlalu “formal” dan tidak ramah. Sementara sebagian pengurusnya terlalu sibuk dengan hal teknis, sampai lupa menyapa jamaah yang hadir.
Kondisi ini seharusnya menjadi cermin, bukan cemoohan. Bukan ajang menyalahkan siapa pun, tapi ajakan untuk merenung: apa yang sudah kita lakukan untuk memakmurkan masjid?
Memakmurkan masjid bukan hanya tentang membangun fisik atau memberi donasi besar. Tapi juga menyapa, hadir, tersenyum, membersamai. Bahkan sekadar datang untuk salat berjamaah dengan penuh cinta dan kekhusyukan, itu sudah langkah besar.
Bagi para pengurus, mari belajar dari Rasulullah. Beliau bukan hanya imam, tapi juga pelayan masjid. Menyapu lantai, membersihkan najis, hingga bertanya kabar sahabat-sahabatnya. Masjid yang hidup adalah masjid yang ramah, hangat, dan menghadirkan rasa memiliki bagi siapa pun yang datang.
Dan bagi kita semua, mari ajak keluarga mencintai masjid. Jadikan masjid tempat berkumpul, belajar, bersilaturahmi, dan berkontribusi. Bukan tempat yang terasa kaku dan membosankan, tapi menjadi ruang tumbuhnya kebaikan dan cinta kepada Allah.
Masjid adalah barometer hidup umat. Kalau masjidnya sunyi, bisa jadi itu pertanda bahwa hati kita juga sedang sunyi dari zikir dan amal. Tapi jika masjidnya hidup—dengan ibadah, ilmu, dan cinta—maka masyarakat pun akan ikut subur dan penuh berkah.
Jangan hanya jadi tamu di rumah Allah. Jadilah bagian dari keluarganya. Karena siapa yang mencintai masjid, insya Allah akan dicintai oleh Pemilik masjid: Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Subang, 06.07.25