Jarum jam hampir menyentuh angka sepuluh, detik demi detik terus berlalu. Suara jam dinding yang khas terdengar di tengah keheningan malam yang semakin larut. Mata ini hampir terpejam, namun hati tak bisa menahan godaan untuk kembali membuka telepon genggam. Tiba-tiba, di grup WA STC, Bang Aji membagikan sebuah tautan YouTube: Babeh Jamil.
“Ah, cocok nih buat pengantar tidur,” gumamku sambil mengklik video itu.
Di video tersebut, Babeh Jamil mengenakan polo shirt biru bergaris horizontal putih. Kalau saja kami bertemu langsung, saya pasti akan bercanda, “Beh, semalem Babeh begadang, ya?” Dan, seperti biasa, Babeh akan menjawab, “Eh, iya. Emang kenapa?” Lalu saya akan balas dengan gurauan, “Itu, pasti semaleman Babeh ngegarisin baju yah?!”
Namun, jauh dari candaan ringan, Babeh mulai menyampaikan pesan yang begitu mendalam untuk para pemimpin. Ia berbagi tentang pentingnya berbagi ilmu, baik melalui pidato atau pelatihan. Lalu, ia menceritakan pengalaman berharga saat mengisi pelatihan dan mentoring bagi para trainer di Malaysia. Salah seorang peserta bertanya, “Bagaimana cara Babeh melatih kemampuan untuk mengisi training? Apa satu hal yang perlu dilakukan untuk melatih kemampuan tersebut?”
Jawaban Babeh sangat sederhana, namun penuh makna: “Menulis.”
Menulis. Sesederhana itu, namun memiliki kekuatan yang luar biasa. Ternyata, menulis bukan hanya sekadar menuangkan kata, tetapi sebuah proses yang mengasah ide dan merangkumnya menjadi sistematis. Bahkan, menulis sudah menjadi pelajaran wajib di Harvard. Kenapa? Karena melalui menulis, kita bisa memperjelas ide-ide kita dan menyusunnya dengan rapi. Selain itu, menulis juga membantu mengurangi stres.
Lebih dari itu, menulis bisa menjadi alat untuk personal branding. Banyak trainer kelas dunia yang menulis buku, sebut saja Stephen Covey dengan karya terkenalnya, The 7 Habits of Highly Effective People. Buku ini menjadi pengantar dan dasar bagi banyak orang untuk belajar tentang kepemimpinan yang efektif. Menulis juga membuat trainer tidak terjebak pada “comot sana, comot sini” dalam menyampaikan materi training, karena mereka sudah memiliki karya yang solid.
Ternyata, menulis juga bisa menjadi sumber penghasilan. Babeh menceritakan bagaimana salah satu sumber penghasilannya saat menyekolahkan dua anaknya di Jerman adalah dari royalti penjualan buku. Betapa menulis bisa membuka pintu yang tak terbayangkan sebelumnya.
Lalu, jika saya seorang pemimpin, apakah saya harus menulis? Jawaban Babeh tegas: Wajib. Sebagai seorang pemimpin, menulis adalah alat yang penting untuk mengasah kemampuan kepemimpinan kita.
Bagaimana seorang pemimpin bisa menulis dengan efektif? Babeh memberikan tiga langkah yang bisa kita coba:
1. Surat Cinta dari Pemimpin
Cobalah menulis surat cinta kepada tim Anda. Babeh memberikan contoh saat Pak Dahlan Iskan menjabat sebagai Dirut PLN, yang rutin mengirimkan CEO Letter kepada karyawan. Melalui surat ini, karyawan merasa dekat dengan pimpinan dan lebih memahami kebijakan perusahaan. Begitu juga dengan kita, seorang pemimpin bisa menyampaikan arahan atau tujuan tanpa harus melalui forum rapat.
2. Jurnal Kepemimpinan
Menulislah jurnal kepemimpinan setiap minggu. Evaluasi diri tentang apa yang sudah dicapai dan apa yang perlu diperbaiki. Menulis ini menjadi ruang untuk refleksi diri, untuk melihat mana hal yang sudah berhasil dan mana yang perlu ditingkatkan. Ini adalah cara luar biasa untuk menjaga diri tetap fokus dan tidak merasa terjebak dalam rutinitas.
3. Kisah-Kisah Inspiratif
Tulislah kisah-kisah inspiratif yang terjadi di dalam tim atau bisnis Anda. Bagikan kisah tersebut di grup WhatsApp dan dorong tim untuk menyebarkannya lebih luas lagi. Hal sederhana ini bisa menginspirasi banyak orang dan memperkuat ikatan dalam tim.
Kini, sudah hampir jam sebelas malam. Saatnya untuk tidur. Gara-gara Babeh, saya terjaga lebih lama dari biasanya. Gara-gara Babeh, saya kembali menulis. Hoam… semoga tidur malam ini menjadi lebih berkualitas, karena saya tahu, esok adalah kesempatan untuk lebih baik lagi, berkat tulisan yang menginspirasi.