Menara Eiffel berdiri kokoh. Rangka besinya nampak berkilauan terkena lembayung senja. Begitu pun, permukaan Sungai Sein yang tidak jauh dari menara yang diresmikan pada 1889 juga bertabur cahaya kejinggaan. Cuaca Paris di pertengahan tahun 2014 itu terasa hangat.

Layaknya di daratan Eropa lainnya, Kota Paris memiliki empat musim. Di musim semi yang jatuh pada bulan Maret sampai Mei, cuaca di Kota Paris sangat bagus. Udara sejuk, temperatur menengah dan matahari yang bersinar terang meskipun terkadang diselingi hujan. Pada musim panas, Juni sampai September, udaranya panas, terutama di selatan Prancis, namun suhu udara jarang sekali melampaui 35 derajat celcius. Sementara di bulan Oktober hingga Desember, musim gugur masih menawarkan cuaca yang menyenangkan namun dengan udara yang cenderung lembab. Musim dingin sangat dingin. Salju terkadang turun disertai hujan dan suhu udara bisa di bawah 0 derajat celcius, terutama di daerah dataran tinggi.

Di sudut taman yang asri dengan pepohonan yang rindang tak jauh dari Menara Eiffel, Aldi duduk termenung. Sesekali pandangannya menyapu ke sekeliling. Banyak pejalan kaki berjalan beriringan menuju area menara. Tak sedikit, pedagang keliling terlihat mondar-mandir menjajakan souvenir. Sudut matanya tertuju ke ujung menara yang samar terlihat di balik dedaunan. Sambil menerawang, Aldi teringat kisah dirinya sekitar 10 tahun yang lalu.

Sore itu, Aldi baru saja tiba di tempat kosnya setelah melakukan perjalanan melelahkan berkemah di Situ Lembang. Situ Lembang adalah danau yang dikelilingi pegunungan dan terletak di ketinggian 1574 m dan memiliki luas sebesar 0,40 km2. Situ Lembang terletak di antara Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Sunda. Situ ini lebih dikenal dengan Situ Lembang Kopassus, karena memang tempat latihan Kopassus.

Aldi dan teman-teman kuliahnya yang berjumlah 10 orang berjalan kaki hampir dua jam. Beruntung, waktu itu tidak bertepatan dengan jadwal latihan tentara. Karena sewaktu-waktu akses jalannya ditutup sementara untuk alasan keamanan.

Tiba menjelang senja, Aldi dan teman-temannya disuguhi pemandangan danau yang sejuk. Segera saja mendirikan tenda dan mempersiapkan perlengkapan lainnya. Kala malam menjelang, lampu-lampu obor menyala di sepanjang pinggir danau. Melihat ke langit, bertabur bintang gemintang menghias langit di sela senda gurau dan petikan gitar. Namun berbeda dari kemping-kemping sebelumnya, suasana hati Aldi terasa sunyi dan gelisah. Seperti ada sesuatu yang berbeda. Aldi pun tak banyak berbicara seperti biasanya.

“Aldi, tadi ada telepon dari rumah. Katanya suruh segera pulang,” kata Ibu Kost.

“Ada apa ya bu?” tanya Aldi penasaran.

Tapi Ibu Kost tidak memberikan penjelasan lebih lanjut seraya mengatakan keluarga hanya menyuruh Aldi segera pulang. Aldi termenung sejenak sambil meredakan lelahnya selepas perjalanan dari Situ Lembang.

Kala itu, aktivitas komunikasi telepon masih menggunakan telepon rumah atau wartel. Aldi sering meminta tolong ke tetangga rumah kostnya yang kebetulan memiliki telepon rumah jika ada hal-hal penting. Sementara untuk menelepon ke rumah, Aldi sering menggunakan jasa wartel yang tidak jauh dari tempat kosnya.

Setelah menempuh perjalanan panjang sekitar 10 jam di malam hari dengan turun naik kendaraan umum yang melelahkan, akhirnya Aldi tiba di rumah menjelang Subuh. Beberapa tetangga langsung menyambutnya sambil menggandeng Aldi.

“Sabar ya Aldi,” ucap tetangganya.

Aldi masih belum mengerti, namun perasaannya tidak enak. Akhirnya hal itu terjawab ketika Aldi memasuki rumah. Nampak jasad terbaring dengan berbalut kain. Cerita keluarga, Bapak meninggal kemarin siang, terjatuh di kamar mandi tatkala hendak berwudlu untuk sholat Dhuhur. Sempat di bawa ke rumah sakit namun tidak tertolong.

Setelah kepergian Bapak untuk selamanya, kehidupan Aldi segera saja berubah drastis. Pasokan uang kuliahnya mulai tersendat seiring menurunnya usaha keluarga sepeninggal Bapak. Kakak yang meneruskan usaha tidak berhasil, akhirnya oleng dan bangkrut.

Tidak ada pilihan lain selain berjuang menyelesaikan kuliahnya yang tersisa satu semester lagi. Aldi pun sempat berjualan gorengan di kampus bersama beberapa teman. Ia tanggalkan rasa malu, padahal dia mantan ketua himpunan. Untunglah Aldi mendapat beasiswa Supersemar dan mendapatkan juara lomba menulis di kampusnya untuk sekedar menyambung memenuhi kebutuhannya.

Kelulusanpun tiba. Berbekal ijazah dari kampusnya, Aldi mulai melamar kerja sambil berjualan apa saja, termasuk baju koko. Aldi pun menumpang tinggal di kost temannya. Untungnya Ibu Kostnya baik hingga memberikan kelonggaran.

Aldi sempat diterima bekerja sebagai sales produk selang regulator gas. Tugasnya berjualan berkeliling dari perumahan ke perumahan di Kota Kembang hingga ke pelosok. Hanya kuat seminggu, akhirnya Aldi mengundurkan diri.

Bersama seorang teman, Aldi mencoba peruntungan dengan berjualan baju koko. Mengandalkan relasi keluarga dan teman, baju koko terkirim hingga ke Banten. Tapi, lagi-lagi tak bertahan lama. Usaha barunya itu pun akhirnya terhenti.

Hingga kabar baik pun datang. Sekretaris Jurusan bidang kemahasiswaan menitip pesan ke alumni lainnya untuk mencari Aldi. Ada alumni datang ke kampus menginformasikan ada lowongan untuk alumni di salah satu perusahaan milik negara. Kabar itu pun sampai ke Aldi.

Rangkaian test diikuti Aldi hampir setengah tahun hingga akhirnya diterima sebagai calon karyawan. Tentu saja tidak mudah. Perjalanan menggunakan bus ke salah satu kota di Priangan Timur, hingga menginap di emperan masjid karena tidak ada sanak saudara di kota tersebut. Untuk menyewa penginapan pun rasanya uangnya tak akan cukup.

Perjalanan sulit itu kini nampak teruntai indah penuh hikmah. Perjalanan ke beberapa belahan dunia bukan mimpi lagi. Keberhasilan yang diraih oleh seseorang kebanyakan tidak didapat dengan instan. Ada perjuangan, pahit getir kehidupan mengiringinya. Namun, seringkali orang lain hanya melihat pada fase dimana seseorang itu telah berhasil. Salah satu kata kuncinya adalah matangnya persiapan.

Hal ini dicontohkan dalam kisah legendaris seorang Uwais Al Qorni. Seorang pemuda yang tidak terkenal, miskin, dan memiliki penyakit kulit. Tak ada orang yang mengenalnya bahkan namanya pun tak pernah dikenal. Namun ia merupakan pemuda yang pernah disebut oleh Rasulullah SAW sebagai pemuda yang sangat dicintai oleh Allah dan terkenal di langit karena bakti kepada ibunya.

Dari sekian banyak permintaan ibunya, hanya satu yang belum dapat dipenuhi oleh Uwais kala itu, pergi haji ke Baitullah. Namun rupanya Uwais pantang menyerah. Ia membeli seekor anak lembu, kemudian setiap hari membawanya naik turun bukit. Lama-lama lembu tersebut tumbuh besar dan semakin berat, begitu pun Uwais semakin kuat. Orang-orang sekelilingnya menganggap Uwais gila. Namun pada akhirnya terjawab sudah keganjilan tingkah Uwais ini. Ia menggendong ibunya pergi haji dengan berjalan kaki dari Yaman ke Mekah. Kuat? Kuat karena kecintaan terhadap ibudanya dan disertai dengan persiapan yang matang.

“Aldi, yuk pulang. Udah mau malam nih,” ajak Yudi, teman seperjalanan ke Prancis, menepuk pundak membuyarkan lamunan Aldi.

“Ayo. Alhamdulillah, sampai juga kita ke Eiffel ya,” gumam Aldi pelan.

“Iya, ini buah dari aplikasi petuah man jadda wajada. Barangsiapa bersungguh-sungguh ia akan berhasil. Akhirnya anak kampung sampai juga ke Negeri Napoleon Bonaparte,” ujar Yudi sambil tersenyum.