Benar adanya yang mengatakan bahwa nasihat yang paling mengena itu mengunjungi rumah sakit dan menghadiri prosesi pemakaman. Keduanya dapat berfungsi sebagai terapi jiwa.
Ada pada satu titik dimana manusia merasa seolah-olah orang yang paling malang di muka bumi ini. Ujian menimpa bertubi-tubi. Namun, jika kita menengok keluar, rupanya masih banyak yang diberikan ujian kehidupan yang lebih dahsyat.
Di sebuah rumah sakit, ketika lift terbuka, pasien terbaring di tempat tidur dorong dengan mulut menganga dengan bantuan oksigen dan selang infus. Matanya terpejam. Sekilas nampak payah seolah sudah tiada tanda kehidupan. Di waktu lain, seorang kawan meninggal di usia muda karena kecelakaan. Tiada pernah mengira akan pergi secepat itu. Hanya meninggalkan gundukan tanah merah sebagai tempat peristirahatannya.
Seringkali kita melihat orang lain itu selalu bahagia. Begitulah setidaknya yang nampak di beranda media sosialnya. Bisa jadi saat itu kita sedang terjebak dalam sawang sinawang.
Sawang sinawang adalah sebuah ungkapan bahasa Jawa tentang perilaku membanding-bandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Pepatah ini mengandung ajaran untuk tidak membanding-bandingkan kehidupan seseorang dengan orang lain, karena apa yang dipandang belum tentu seindah atau semudah yang tampak.
Tidak patut berburuk sangka kepada Yang Maha Kuasa atas apapun yang menimpa kita. Alih-alih mengutuk keadaan, lebih baik bercermin diri dan terus berada dalam kesabaran yang tak berbatas. Karena jika sabar ada batasnya, sejatinya itu bukanlah kesabaran. Tetaplah menjadi setrong menghadapi kehidupan.