Ramadhan dan Idul Fitri 1441 H ini sepertinya akan menjadi sejarah dalam hidup saya. Banyak catatan-catatan unik akibat penyesuaian pola hidup dalam rangka menghadapi Covid-19 yang sedang melanda dunia. Tak terkecuali dalam hal pelaksanaan ibadah.
Ramadhan tahun ini, Alhamdulillah full menjadi imam sholat tarawih selama sebulan. Kadang dilengkapi dengan kultum, kadang tidak. Kadang bacaan surat panjang, kadang jurus kilat surat pendek. Tergantung situasi jamaahnya apakah dalam kondisi kenyang sekali dan mengantuk atau masih segar bugar. Situasi kebersamaan dalam keluarga ini menjadi sisi lain yang sangat patut untuk disyukuri.
Puncaknya, Alhamdulillah dapat menjadi imam dan khotib pelaksanaan sholat sunah Idul Fitri. Kesempatan yang sangat langka. Seumur hidup saya yang sudah menjejak di kepala 40, baru kali ini secara aklamasi ditunjuk sebagai imam sholat hari raya. Dalam kondisi normal, posisi ini sudah menjadi ‘milik’ para ustadz tentunya.
Setidaknya ada beberapa hikmah dari cerita di atas. Pertama, pandai bersyukur. Allah SWT memberikan kondisi seperti ini pasti memiliki tujuan. Rasa harap dan cemas akan pertolongan Allah SWT supaya terhindar dari bala bencana menjadi terasa lebih khusyu. Kesehatan menjadi sangat disyukuri dan secara optimal dijagai. Kedua, saatnya tampil. Ramadhan kali ini banyak melahirkan imam dan khotib baru. Secara tidak langsung Allah SWT memberikan kesempatan untuk berlatih dan merasakan posisi tersebut. Hingga yang ketiga, menyadari kekurangan. Menjadi imam dan khotib memerlukan kemampuan khusus. Kemampuan menyampaikan dengan hikmah, bacaan Al Quran yang fasih serta stok hafalan Al Quran yang memadai. Tentu tidak elok selama menjadi imam hanya berkutat di bacaan Qulhu – Falaq – Binnas? Walaupun secara syarat sah-sah saja.