Menjelang Isya tiba-tiba listrik padam. Saya pastikan bukan karena aliran listrik di rumah saja yang padam, melongok ke jendela, di rumah tetangga pun gelap gulita.
Bermodal cahaya telepon genggam yang tinggal 14%, saya bergegas mengantar istri ke dapur. Rupanya, di dapur sudah ada lampu minyak sederhana. Terbuat dari toples kaca bekas sambal terasi, bagian atasnya yang terbuat dari kaleng dilubangi untuk sumbu kain. Bahan bakarnya diambil dari minyak bekas alias jelantah. Akhirnya, lampu minyak buatan istri pun menyala.
Sholat Isya berjamaah dilaksanakan dalam temaram lampu minyak. Seusai sholat, saya balik badan menghadap jamaah yang setia. Sedikit memberikan prolog, kultum singkat akhirnya diakhiri dengan pertanyaan.
“Siapa yang bisa memberikan pendapat hikmah apa di balik padamnya lampu ini?” tanya saya sambil menatap para jamaah.
Akhirnya istri memberikan contoh berpendapat.
“Kegelapan dan cahaya lampu ini bisa menjadi contoh suasana di alam kubur nanti. Di antara himpitan tanah dan gulitanya. Cahaya lampu itu ibarat pahala amalan kita yang akan menerangi di alam kubur. Pahala sholat, membaca Al Quran, bersedekah dan amalan lainnya,” terangnya.
Ya, kita diajarkan untuk pandai mengambil hikmah dari setiap kejadian. Hikmah lainnya diantaranya, suasana menjadi hening dan menambah kekhusyuan beribadah. Suara barang elektronik yang menimbulkan kebisingan mati semua. Senyap.
Selain itu, kita tidak boleh berburuk sangka kepada Allah SWT. Alih-alih menggerutu dan memaki PLN atas padamnya lampu, banyak tindakan positif yang bisa dilakukan. Salah satunya duduk bercengkrama saling berbagi cerita yang menambah kehangatan keluarga.
Sedia payung sebelum hujan. Eh, sedia lampu sebelum listrik padam. Bukan karena tidak ada lampu batere, penggunaan lampu minyak ini sebagai alat pembelajaran untuk anak dalam mengambil hikmah.